Senin, 14 Juli 2014

Reuni

Saya bukanlah orang yang mudah berdamai dengan masa lalu. Itu yang sering saya katakan. Saya sulit sekali untuk lupa begitu saja pada setiap kenangan yang pernah saya maupun orang lain buat terhadap saya. Akan ada masa di mana otak saya berputar, dan kembali pada bayang-bayang 5, 10 atau 15 tahun yang lalu, yang kini tentu saja sudah berada di dimensi  lain.

Ketika hal itu terjadi, saya akan lebih memilih untuk diam, mengurung diri di kamar sambil mendengar lagu-lagu yang dapat menguatkan kenangan. Sebenarnya bukan ide yang bagus, karena setiap nada dari masa lalu akan membuat saya semakin lemah dan lelah.

Saya lelah untuk berada di tempat yang seharusnya tak saya ingat-ingat lagi. Capek. Letih. Tapi bayangan itu muncul semaunya, memaksa untuk masuk ke dalam pikiran saya, merenggut kedamaian hati saya.

Mungkin itu salah satu alasan mengapa saya sering sekali menolak acara reuni. Temu kangen. Gathering. Meetup. Atau apalah namanya.
Saya selalu rindu pada masa lalu. Terlebih pada masa lalu yang indah. Kenangan bersama teman-teman sekolah adalah masa-masa yang indah untuk saya. Mereka adalah saksi dari perubahan-perubahan yang terjadi pada diri saya. Mereka selalu ada pada setiap masalah saya, pada setiap kegembiraan saya. Mereka tidak dapat dideskripsikan. Bayangan bersama mereka adalah bayangan yang terlampau indah. Karena itulah kadang saya lebih memilih untuk menghindar.

Sepi. Hanya itu kata yang bisa menginterpretasikan perasaan saya selama bersama mereka. Saya memang sedang bersama belasan orang. Saya berada dalam gelak tawa penuh rindu, terkurung dalam candaan masa lalu yang tak habis untuk diingat. Tapi jauh di dalam hati saya, saya hanya bisa merasakan sepi. Saya malah memikirkan hari esok yang sebenarnya belum penting untuk dibahas.

Saya tak ingin mereka habis malam ini. Saya ingin besok berangkat ke sekolah, duduk di bangku kayu barisan kedua dari belakang, bergosip sambil cekakak-cekikik sebelum guru matematika masuk kelas dan SMSan sambil pura-pura memperhatikan pelajaran. 

Tapi saya tahu, itu semua mustahil.

Pulangnya, saya tak akan bisa langsung terlelap. Jantung saya berdetak tak biasa. Menyesali kedatangan saya ke acara yang tak seharusnya saya hadiri.
Tapi mungkin seharusnya saya lebih menyesali diri saya sendiri. Yang tak pernah siap untuk tidak merasa sepi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar