Rabu, 19 November 2014

Kapan-Kapan

Kapan-kapan, aku ingin kita berdua hanya dipisahkan oleh sebuah meja bundar kecil. Ada secangkir cokelat panas untukku dan segelas lemon tea untukmu. Aku ingin kita membicarakan apa-apa yang selama ini tertahan. Tentang kesukaan kita. Tentang hidupmu. Tentang harapan-harapanku. Tentang apa saja. Selama kamu suka.

Aku berjanji tak akan jadi penat bagimu. Hari itu, aku akan merelakan diri menjadi seorang extrovert. Selama hanya ada kamu di hadapanku. Selama yang ada hanya dirimu.

Kapan-kapan, kapan-kapan, kapan-kapan......aku harap tak sekedar jadi angan-angan.

Malam itu, di pinggiran kota Bogor. Ada duka saat gerimis membasuh. Ada wajah-wajah sendu saat angin bertiup. Pasi, mereka menghampiri yang tengah berbaring. Mengeluarkan apa yang harusnya dilantunkan. Ada kecupan penuh luka. Ada maaf menggema. Ada kenangan syahdu, yang mengingatkan pada apa-apa yang pernah terlaku.

Di sudut lain, ada lelaki penuh uban sedang mematung. Lemas ia terduduk. Matanya memerah. Ada sesal terlintas. Ada ingatan panjang tentang mereka. Sebelas tahun berlalu begitu saja. Tanpa terasa. Satu-satunya yang akan selalu menepi adalah sepi. Sepi yang meninggalkan lara. Rindu yang akan selalu hinggap di kalbu.



Tulisan ini dibuat untuk mengenang Alm. Bapak Madi. Sahabat Abah, yang baru meninggal kemarin malam.

Rabu, 27 Agustus 2014

Untuk Bandung yang Dulu Pernah Kukenal

Aku dan kamu sempat kembali menjadi ‘kita’. Tak lama, hanya beberapa jam saja. Jika aku tak salah ingat, mungkin dua jam setelah kamu membalas pesanku yang pertama. Setelah itu kita menjadi ‘kita’, ‘kita’ yang hampir seperti dulu, jauh sebelum kamu menguap dari hidupku.


Dirimu masih sama dengan yang dulu kukenal. Kata-katamu masih singkat. Nada bicaramu masih ramah. Tawa renyah untuk menghilangkan kesan menyebalkan masih terselip di setiap ujung kalimat. Tak lupa, pertanyaan balasan akan muncul tiap kali kamu kebingungan. Satu-satunya yang tak sama adalah hal-hal manis yang dulu biasa menyempurnakan ‘kita’, karena itu memang sudah tak diperlukan lagi.

Tak apa bukan, bila sesekali kuhampiri dirimu? Tak perlu kau pikir bahwa aku sedang ingin merenda angan. Tak usah juga kau kira bahwa aku sedang ingin membangun memori. Aku hanya suka tenggelam dalam kebosanan yang seringkali kamu ciptakan. Aku candu pada hal yang membuatku sebal. Selama itu darimu, aku tak akan mempermasalahkan. Asalkan itu kamu. Selama itu kamu.


Jadi, kapan aku boleh kembali bertandang di istanamu yang gersang dan layu namun tak pernah membuatku lelah dan mati rasa itu?

Senin, 25 Agustus 2014

Belanja Tanpa Bayar

Agaknya judul postingan ini cukup kontroversial. Belanja tanpa bayar? How come? Sebenarnya mungkin-mungkin saja kalau ada voucher atau ditraktir teman. Tapi yang kumaksud di sini bukan belanja tanpa betul-betul mengeluarkan uang. Mungkin kalimat yang paling tepat adalah: Belanja Tanpa Bayar Ongkos Kirim.

Pernah membayangkan, rasanya belanja sedikit barang di sebuah online shop di luar negeri tanpa ongkos kirim? (biasanya untuk free shipping harus belanja banyak terlebih dulu). Lebih dari tiga tahun lalu, aku masih menganggap ini hal yang mustahil. Terakhir belanja di cdjapan.co.jp, aku dikenai ongkos kirim yang lumayan, karena dikenai biaya asuransi ini-itu, juga jaminan untuk cepat sampai. Dan memang cepat sih, kalau tidak salah aku hanya menunggu kurang dari seminggu sebelum akhirnya pesananku tiba.

Dalam (sekitar) dua tahun terakhir ini, aku mengenal bookdepository.com, sebuah online bookseller yang berlokasi di UK. Sesuai namanya, BookDepository hanya menjual buku. Mungkin bagi para pembaca buku impor yang sering kesulitan mendapatkan buku idamannya sudah lama sekali kenal dengan online bookseller ini (kemarin baca-baca review di forum Good Reads Indonesia dan ada postingan soal BookDepository sejak 4 tahun lalu!).

Tanggal 3 Agustus lalu, aku mencoba untuk beli buku di sana. Ini pertama kalinya aku beli buku di situs yang kantornya tidak beralamat di Indonesia. Apalagi ini tanpa ongkos kirim yang otomatis tak akan ada asuransi atau jaminan-jaminan lainnya. Aku sempat berkali-kali berpikir, bagaimana kalau pesananku baru sampai tahun depan? Atau bagaimana kalau tidak sampai sama sekali? Tapi rasa penasaran dengan novel terbaru Haruki Murakami membuang jauh-jauh semua pertanyaan itu. Akhirnya hari itu aku langsung pesan Colorless Tsukuru Tazaki and His Years of Pilgrimage yang sebenarnya baru akan terbit 9 hari lagi (12 Agustus).

Tanggal 6 Agustus, aku dapat e-mail yang menginformasikan kalau pesananku sudah dikirim. Di track order juga statusnya sudah dispatched. Sebenarnya agak heran, buku belum terbit tapi kok sudah dikirim? Intinya saat itu aku cukup cemas, takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Tapi akhirnya pesananku sampai juga di tanggal 25 Agustus (waktu perjalanan: 19 hari).

Ada beberapa kelebihan dan kekurangan yang bisa aku simpulkan dari layanan di online bookseller ini.
Pertama, adanya fasilitas free worldwide delivery yang membuat pembeli ketagihan. Biasanya ongkos kirim ini yang sering bikin 'berat', karena kadang biayanya lebih besar daripada barang pesanannya.
Kedua, buku dalam kondisi yang sangat baik ketika diterima.
Ketiga, buku hanya dikemas dengan kardus tanpa dilapisi plastik sama sekali. Kalau kehujanan pasti kuyup.
Keempat, layanan track order menurutku sama sekali tidak membantu. Beda dengan pengalamanku membeli barang di CDJapan yang tracking order-nya sangat jelas. Di sini status hanya dispatched dan dispatched dari tanggal pengiriman sampai akhirnya barang sudah diterima.





Selasa, 15 Juli 2014

A Confession

Semasa saya SD, di RCTI ada sebuah program yang bernama 'Katakan Cinta'. Program tersebut memfasilitasi manusia-manusia single yang ingin segera mengubah status. Dari single jadi double. Dari sendirian jadi berpasangan. Saya menonton sambil ngumpet-ngumpet. Takut ketahuan Mama dan dibilang kegenitan.

Sekian tahun berlalu. Acara tersebut sudah tak lagi tayang, tapi kelakuan para peserta 'Katakan Cinta' yang menurut saya unik dan tidak biasa masih sering membuat saya tertawa-tawa sendiri dan berpikir, itu kali ya, perwujudan dari frase "cinta harus diperjuangkan". Malu bukan hambatan. Yang penting dapet! Bagi saya itu konyol. Makanya saya tertawa.

Tapi, sekonyol apapun pepatah tadi, tetap saja tidak membuat saya menjadi seseorang yang selalu memendam rasa cintanya. Ada kalanya saya ikut menjadi konyol, membuang rasa malu dan menyatakan apa yang ingin saya nyatakan.

Tanggal 11 Desember 2013. Untuk yang kedua kalinya saya melakukan-hal-yang-apabila-tidak-saya-lakukan-mungkin-akan-berbuah-penyesalan. Entah arwah apa yang merasuk sampai akhirnya saya berani untuk mengirim sebuah email pada seseorang yang sudah 2 tahun begitu saya inginkan.

Ada tiga hal yang membuat saya begitu yakin dan percaya diri:
1. Saya mengirim lewat email anonim.
2. Kami sudah tak pernah bertemu selama 2 tahun, dan mungkin tak akan pernah bertemu lagi.
3. Ia tak mungkin ingat pada saya.

Dalam email itu saya menulis apa yang ingin saya luapkan. Semuanya mengalir begitu saja, sampai tahu-tahu sudah ada 4 halaman yang saya habiskan.

Tanpa diduga, esoknya handphone saya bergetar. Ada email. EMAIL BALASAN DARI DIA!
Dengan jantung yang berdetak tak biasa, saya membacanya dari awal sampai akhir. Berulang-ulang. Sampai bosan. Sampai tak perlu dibaca lagi.

Tidak ada balasan perasaan. Tidak ada kata, "Hai, boleh saya ketemu kamu?". Bahkan tak ada pertanyaan semacam, "Sebenarnya kamu siapa?". Karena saya pun memang tak pernah mengharap balasan apapun. Saya juga memohon agar ia tak perlu mencari tahu siapa saya. Jawaban email darinya sudah cukup membuat saya menjadi gadis paling bahagia di dunia ini.

Ia menjawab dengan kalimat-kalimat yang tidak saya pahami. Ia meminta saya untuk tidak berharap terlalu banyak. Ia mendoakan saya agar apa yang saya cita-citakan tercapai. Tipikal lelaki dewasa. Harusnya itu membuat saya semakin penasaran. Tapi entah kenapa.....wusss....perasaan itu hilang seiring dengan balasan emailnya. Tak ada lagi sensasi indah tiap kali mengingatnya, tak ada getaran-getaran yang membuat saya semangat tiap kali membaca judul skripsinya. Semuanya hilang begitu saja. Padahal tak ada hal yang membuat saya kecewa, sedih atau patah hati dari apa yang ia katakan. Semuanya hanya hilang.

Aneh? Memang.

Saya jadi ingat pada kutipan yang ada di dalam novel 1Q84 karya Haruki Murakami (kalimat ini juga saya masukkan ke dalam email yang saya tulis).


“If you can love someone with your whole heart – even if he’s a terrible person and even if he doesn’t love you back – life is not a hell, at least, though it might be kind of dark.”

Sekarang saya rindu untuk jatuh cinta.



Currently listening to: Someday by John Legend

Senin, 14 Juli 2014

Reuni

Saya bukanlah orang yang mudah berdamai dengan masa lalu. Itu yang sering saya katakan. Saya sulit sekali untuk lupa begitu saja pada setiap kenangan yang pernah saya maupun orang lain buat terhadap saya. Akan ada masa di mana otak saya berputar, dan kembali pada bayang-bayang 5, 10 atau 15 tahun yang lalu, yang kini tentu saja sudah berada di dimensi  lain.

Ketika hal itu terjadi, saya akan lebih memilih untuk diam, mengurung diri di kamar sambil mendengar lagu-lagu yang dapat menguatkan kenangan. Sebenarnya bukan ide yang bagus, karena setiap nada dari masa lalu akan membuat saya semakin lemah dan lelah.

Saya lelah untuk berada di tempat yang seharusnya tak saya ingat-ingat lagi. Capek. Letih. Tapi bayangan itu muncul semaunya, memaksa untuk masuk ke dalam pikiran saya, merenggut kedamaian hati saya.

Mungkin itu salah satu alasan mengapa saya sering sekali menolak acara reuni. Temu kangen. Gathering. Meetup. Atau apalah namanya.
Saya selalu rindu pada masa lalu. Terlebih pada masa lalu yang indah. Kenangan bersama teman-teman sekolah adalah masa-masa yang indah untuk saya. Mereka adalah saksi dari perubahan-perubahan yang terjadi pada diri saya. Mereka selalu ada pada setiap masalah saya, pada setiap kegembiraan saya. Mereka tidak dapat dideskripsikan. Bayangan bersama mereka adalah bayangan yang terlampau indah. Karena itulah kadang saya lebih memilih untuk menghindar.

Sepi. Hanya itu kata yang bisa menginterpretasikan perasaan saya selama bersama mereka. Saya memang sedang bersama belasan orang. Saya berada dalam gelak tawa penuh rindu, terkurung dalam candaan masa lalu yang tak habis untuk diingat. Tapi jauh di dalam hati saya, saya hanya bisa merasakan sepi. Saya malah memikirkan hari esok yang sebenarnya belum penting untuk dibahas.

Saya tak ingin mereka habis malam ini. Saya ingin besok berangkat ke sekolah, duduk di bangku kayu barisan kedua dari belakang, bergosip sambil cekakak-cekikik sebelum guru matematika masuk kelas dan SMSan sambil pura-pura memperhatikan pelajaran. 

Tapi saya tahu, itu semua mustahil.

Pulangnya, saya tak akan bisa langsung terlelap. Jantung saya berdetak tak biasa. Menyesali kedatangan saya ke acara yang tak seharusnya saya hadiri.
Tapi mungkin seharusnya saya lebih menyesali diri saya sendiri. Yang tak pernah siap untuk tidak merasa sepi.

Jumat, 04 April 2014

Isi Otak

Dulu sekali, jauh sebelum aku sadar bahwa sedang menghadap kenyataan, aku adalah seorang pemimpi. Aku suka memimpikan apa saja; menjelajah bulan, menjadi Sailor Moon,  berkemah di bawah hamparan bintang dan tinggal di sebuah rumah kecil di kutub utara adalah bagian dari khayalan-khayalanku. Kedengarannya mustahil dan tekesan kekanak-kanakan, tapi itulah aku dengan pikiranku yang bebas.
Tahun 2009, kutuangkan apa yang pernah tinggal dalam imajinasi di sebuah kertas polos. Kusiapkan berbagai spidol aneka warna untuk memperkuat imajinasiku. Di tengah kertas, kugambar sebuah otak, yang kuasumsikan sebagai otakku sendiri. Selanjutnya, kutarik banyak cabang dari sana. Dari setiap cabang kubuat lagi cabang lain, hingga akhirnya aku tak lagi bisa menghitung sudah berapa banyak cabang yang kubuat. Pada setiap ujung garis, kutuliskan satu kata yang menjadi khayalanku.




Aku senang sekali dengan ‘isi otak’ yang baru kubuat. Kutempel ia di dinding kamar dan kupandangi setiap hari. Dengan dada sesak oleh semangat, kusentuh kertas itu dan kuamini apa yang telah kutulis setiap saat aku melihatnya. Aku sangat berharap Tuhan mengabulkan apa yang selama ini menjadi doaku.
Tahun berganti. Waktu mengubahku menjadi pribadi yang lain. Pribadi yang membosankan, yang terlalu peka dengan kenyataan. Perlahan, kulupakan semua yang pernah membuat semangatku menggebu. ‘Isi otak’ itu kubiarkan menjadi pajangan di dinding. Tak ada lagi harapan setiap aku melewatinya, tak ada lagi kata ‘amin’ tiap kali aku menatapnya. Harapanku terlalu mustahil, tak semua mimpi bisa aku wujudkan. Begitu batinku.
Tahun 2014, aku harus meninggalkan rumah. Kubawa semua barang yang kuanggap berharga kecuali kertas itu. Kubiarkan ia menetap di sana, tertempel sendirian di sudut kamar, kepanasan dan kehujanan. Aku lupa bahwa pernah menganggapnya bagian dari semangat hidupku. Sampai akhirnya, kutemukan ia sudah tak lagi seperti dulu.


'Isi otak' lebih memilih untuk ikut melenyapkan dirinya. Ia memilih untuk ikut berubah. Sama sepertiku.