Sabtu, 07 Desember 2013

Kosong (II)


Sore ini begitu cerah untuk ukuran cuaca di bulan Desember. Matahari bersinar terlalu terang, angin bertiup lembut dan udara terasa lebih segar. Jika ingatan saya pendek, pasti saya sudah lupa kalau tadi siang hujan baru saja turun begitu derasnya.
 
Seperti biasa, setiap Sabtu jadwal perkuliahan baru selesai pukul setengah lima sore. Kadang kurang dan kadang lebih. Saya pulang bersama seorang teman, dengan menumpang sebuah angkutan umum bercat hijau.


Sepanjang jalan kami melakukan hal-hal yang biasa. Kami tertawa-tawa ketika membahas ulang segala yang telah terjadi seharian ini dan diam ketika tawa kami habis, memandang jalanan dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Kebetulan, saya sedang menahan geli ketika ia lebih dulu turun di tempat yang biasanya. Senyum saya bertahan selama beberapa detik sebelum kemudian sirna ketika menyadari sesuatu yang tak biasa.


Saya memandang orang-orang yang ada di sekeliling saya. Seorang wanita berturban yang sedang memeluk kantung plastik bertuliskan nama sebuah merek makanan duduk dengan santai di pojokan. Di sebelahnya ada seorang lelaki ceking dan pria paruh baya dengan ransel besar berwarna hitam. Di samping saya duduk seorang pemuda. Tepat di belakang sopir,  seorang gadis berkuncir kuda sedang sibuk dengan buku bacaannya.


Tiba-tiba saya merasa takut. Ada perasaan kosong yang muncul begitu saja, hinggap di pikiran dan mendekap batin saya dengan sangat erat. Saya tidak kenal orang-orang ini. Begitu kira-kira yang pertama kali saya bisikkan dalam hati. Tentu saja. Saya sedang berada dalam angkutan umum yang boleh ditumpangi siapapun. Anak sekolah, mahasiswa, pekerja, pedagang, pengemis, tukang obat, ibu rumah tangga, pengangguran, pencuri, pengacara, politisi, bahkan presiden sekalipun tak dilarang untuk menaiki kendaraan ini. Tak peduli saling kenal atau tidak, setiap orang bisa berada dalam satu angkutan yang sama.


Saya merasa sendirian ketika sadar bahwa saya memang sedang dikelilingi oleh orang-orang asing. Hal itu tidak berselang lama ketika teman saya pergi. Sesuatu yang aneh merayap-rayap dalam benak saya. Rasanya baru saja saya sedang tertawa-tawa dan menikmati apa yang dinamakan kebersamaan. Lalu tiba-tiba.... nyes! Semua hilang. Saya tertinggal bersama sepi.


Kemudian saya sadar. Saya memang hidup sendiri. Sejak lahirpun saya sudah diciptakan untuk menjadi seorang manusia. Bukan dua, atau tiga, atau empat. Hanya satu. Boleh jadi saat ini saya memang sedang bersama dengan orang-orang yang saya sayangi, tertawa dan berbagi cerita. Tapi pada akhirnya, akan ada satu waktu ketika saya sendirian dan menyadari bahwa saya memang diciptakan untuk menjadi angka satu. Sendiri saja. Lalu pikiran saya berjalan ke depan. Ketika turun dari kendaraan ini, saya akan tiba di rumah dan bertemu dengan kedua orang tua saya, pergi ke kamar, makan bersama, menonton tv bersama, lalu pergi lagi ke kamar, duduk di atas ranjang dan memikirkan hal-hal yang membuat saya begitu kosong.



Saya memandangi jalanan dengan perasaan tak menentu. Tak tahu ingin melakukan apa dan apa yang harus dilakukan ketika nanti tiba di rumah. 
Tiba-tiba saya merindukan cuaca yang buruk. Angin yang berembus garang, guntur tanpa kilat dan hujan yang menetes kian ganas. Mungkin dengan begitu saya takkan merasa sendiri lagi.


(Dibuat pada suatu senja di bulan Desember, bersama pikiran yang masih belum bisa berpindah dari karya-karya Pak Murakami.)

Selasa, 03 Desember 2013

Kosong


Seminggu ini bisa dibilang aku terjebak dalam dunia yang diciptakan Haruki Murakami dalam salah satu novelnya, yaitu Kafka On The Shore. Setelah tamat membacanya tepat seminggu yang lalu, 'makhluk-makhluk' ciptaan Murakami tidak langsung lenyap dalam hidupku. Mereka masih berkumpul dan berputar-putar dalam pikiranku, menimbulkan efek-efek yang kadang tak kuinginkan.

Paragraf dalam latar biru yang kucantumkan di atas adalah salah satu monolog yang terjadi dalam diri Hoshino, salah satu tokoh pada Kafka On The Shore. Chunichi Dragons adalah grup baseball kesukaannya. Selama ini ia merasa bahwa Dragons adalah hidup dan matinya. Ketika Dragons menang, ia akan bahagia bukan kepalang, begitu juga sebaliknya. Tapi kemudian ia sampai pada titik di mana ia merasa kosong. Ia jadi bertanya-tanya. Apa manfaat yang ia dapat jika Dragons menang dalam pertandingan? Apa efek yang berarti untuk dirinya? Kenapa ia begitu mengagung-agungkan mereka?

Mau tak mau aku jadi ikut berpikir. Sebagai manusia biasa, aku juga memiliki orang-orang luar biasa yang siap untuk kapan saja kukagumi, kupandangi fotonya dan kunikmati suaranya. Aku senang bila mereka mendapat penghargaan. Aku juga ikut bahagia bila mereka bisa meraih apa yang mereka cita-citakan. Tapi apa imbasnya untukku? Apa aku juga akan hebat bila mereka hebat? Apa aku juga jadi bisa meraih yang kuimpikan? Apa mereka akan memberiku uang banyak? Apa mereka akan mengajakku tinggal di rumahnya bila aku terus mengidolakannya? Jika aku mencintai mereka dengan sepenuh hatiku, apa mereka juga akan berbalik mencintaiku? Tanpa dijawab pun, kurasa semua orang sudah tahu jawabannya.

Kosong. Mungkin itu yang kurasakan sekarang. Persis seperti yang dirasakan Hoshino.