Saya bukanlah orang yang mudah berdamai dengan masa lalu. Itu yang sering saya katakan. Saya sulit sekali untuk lupa begitu saja pada setiap kenangan yang pernah saya maupun orang lain buat terhadap saya. Akan ada masa di mana otak saya berputar, dan kembali pada bayang-bayang 5, 10 atau 15 tahun yang lalu, yang kini tentu saja sudah berada di dimensi lain.
Ketika hal itu terjadi, saya akan lebih memilih untuk diam, mengurung diri di kamar sambil mendengar lagu-lagu yang dapat menguatkan kenangan. Sebenarnya bukan ide yang bagus, karena setiap nada dari masa lalu akan membuat saya semakin lemah dan lelah.
Saya lelah untuk berada di tempat yang seharusnya tak saya ingat-ingat lagi. Capek. Letih. Tapi bayangan itu muncul semaunya, memaksa untuk masuk ke dalam pikiran saya, merenggut kedamaian hati saya.
Mungkin itu salah satu alasan mengapa saya sering sekali menolak acara reuni. Temu kangen. Gathering. Meetup. Atau apalah namanya.
Saya selalu rindu pada masa lalu. Terlebih pada masa lalu yang indah. Kenangan bersama teman-teman sekolah adalah masa-masa yang indah untuk saya. Mereka adalah saksi dari perubahan-perubahan yang terjadi pada diri saya. Mereka selalu ada pada setiap masalah saya, pada setiap kegembiraan saya. Mereka tidak dapat dideskripsikan. Bayangan bersama mereka adalah bayangan yang terlampau indah. Karena itulah kadang saya lebih memilih untuk menghindar.
Sepi. Hanya itu kata yang bisa menginterpretasikan perasaan saya selama bersama mereka. Saya memang sedang bersama belasan orang. Saya berada dalam gelak tawa penuh rindu, terkurung dalam candaan masa lalu yang tak habis untuk diingat. Tapi jauh di dalam hati saya, saya hanya bisa merasakan sepi. Saya malah memikirkan hari esok yang sebenarnya belum penting untuk dibahas.
Saya tak ingin mereka habis malam ini. Saya ingin besok berangkat ke sekolah, duduk di bangku kayu barisan kedua dari belakang, bergosip sambil cekakak-cekikik sebelum guru matematika masuk kelas dan SMSan sambil pura-pura memperhatikan pelajaran.
Tapi saya tahu, itu semua mustahil.
Pulangnya, saya tak akan bisa langsung terlelap. Jantung saya berdetak tak biasa. Menyesali kedatangan saya ke acara yang tak seharusnya saya hadiri.
Tapi mungkin seharusnya saya lebih menyesali diri saya sendiri. Yang tak pernah siap untuk tidak merasa sepi.
Senin, 14 Juli 2014
Jumat, 04 April 2014
Isi Otak
Dulu sekali, jauh sebelum aku sadar bahwa sedang menghadap
kenyataan, aku adalah seorang pemimpi. Aku suka memimpikan apa saja; menjelajah
bulan, menjadi Sailor Moon, berkemah di
bawah hamparan bintang dan tinggal di sebuah rumah kecil di kutub utara adalah bagian
dari khayalan-khayalanku. Kedengarannya mustahil dan tekesan kekanak-kanakan,
tapi itulah aku dengan pikiranku yang bebas.
Tahun 2009, kutuangkan apa yang pernah tinggal dalam
imajinasi di sebuah kertas polos. Kusiapkan berbagai spidol aneka warna untuk
memperkuat imajinasiku. Di tengah kertas, kugambar sebuah otak, yang
kuasumsikan sebagai otakku sendiri. Selanjutnya, kutarik banyak cabang dari
sana. Dari setiap cabang kubuat lagi cabang lain, hingga akhirnya aku tak lagi
bisa menghitung sudah berapa banyak cabang yang kubuat. Pada setiap ujung
garis, kutuliskan satu kata yang menjadi khayalanku.
Aku senang sekali dengan ‘isi otak’ yang baru
kubuat. Kutempel ia di dinding kamar dan kupandangi setiap hari. Dengan dada
sesak oleh semangat, kusentuh kertas itu dan kuamini apa yang telah kutulis
setiap saat aku melihatnya. Aku sangat berharap Tuhan mengabulkan apa yang
selama ini menjadi doaku.
Tahun berganti. Waktu mengubahku menjadi pribadi
yang lain. Pribadi yang membosankan, yang terlalu peka dengan kenyataan. Perlahan,
kulupakan semua yang pernah membuat semangatku menggebu. ‘Isi otak’ itu
kubiarkan menjadi pajangan di dinding. Tak ada lagi harapan setiap aku melewatinya,
tak ada lagi kata ‘amin’ tiap kali aku menatapnya. Harapanku terlalu mustahil,
tak semua mimpi bisa aku wujudkan. Begitu batinku.
Tahun 2014, aku harus meninggalkan rumah. Kubawa
semua barang yang kuanggap berharga kecuali kertas itu. Kubiarkan ia menetap di
sana, tertempel sendirian di sudut kamar, kepanasan dan kehujanan. Aku lupa
bahwa pernah menganggapnya bagian dari semangat hidupku. Sampai akhirnya,
kutemukan ia sudah tak lagi seperti dulu.
'Isi otak' lebih memilih untuk ikut melenyapkan dirinya. Ia memilih untuk ikut berubah. Sama sepertiku.
Jumat, 28 Maret 2014
Sabtu, 07 Desember 2013
Kosong (II)
Sore ini begitu cerah untuk ukuran cuaca di bulan Desember. Matahari bersinar terlalu terang, angin bertiup lembut dan udara terasa lebih segar. Jika ingatan saya pendek, pasti saya sudah lupa kalau tadi siang hujan baru saja turun begitu derasnya.
Seperti biasa, setiap Sabtu
jadwal perkuliahan baru selesai pukul setengah lima sore. Kadang kurang dan
kadang lebih. Saya pulang bersama seorang teman, dengan menumpang sebuah
angkutan umum bercat hijau.
Sepanjang jalan kami melakukan
hal-hal yang biasa. Kami tertawa-tawa ketika membahas ulang segala yang telah
terjadi seharian ini dan diam ketika tawa kami habis, memandang jalanan dan
sibuk dengan pikiran masing-masing. Kebetulan, saya sedang menahan geli ketika
ia lebih dulu turun di tempat yang biasanya. Senyum saya bertahan selama
beberapa detik sebelum kemudian sirna ketika menyadari sesuatu yang tak biasa.
Saya memandang orang-orang yang
ada di sekeliling saya. Seorang wanita berturban yang sedang memeluk kantung
plastik bertuliskan nama sebuah merek makanan duduk dengan santai di pojokan.
Di sebelahnya ada seorang lelaki ceking dan pria paruh baya dengan ransel besar
berwarna hitam. Di samping saya duduk seorang pemuda. Tepat di belakang
sopir, seorang gadis berkuncir kuda
sedang sibuk dengan buku bacaannya.
Tiba-tiba saya merasa takut. Ada
perasaan kosong yang muncul begitu saja, hinggap di pikiran dan mendekap batin
saya dengan sangat erat. Saya tidak kenal
orang-orang ini. Begitu kira-kira yang pertama kali saya bisikkan dalam
hati. Tentu saja. Saya sedang berada dalam angkutan umum yang boleh ditumpangi
siapapun. Anak sekolah, mahasiswa, pekerja, pedagang, pengemis, tukang obat,
ibu rumah tangga, pengangguran, pencuri, pengacara, politisi, bahkan presiden
sekalipun tak dilarang untuk menaiki kendaraan ini. Tak peduli saling kenal
atau tidak, setiap orang bisa berada dalam satu angkutan yang sama.
Saya merasa sendirian ketika
sadar bahwa saya memang sedang dikelilingi oleh orang-orang asing. Hal itu
tidak berselang lama ketika teman saya pergi. Sesuatu yang aneh merayap-rayap dalam
benak saya. Rasanya baru saja saya sedang tertawa-tawa dan menikmati apa yang
dinamakan kebersamaan. Lalu tiba-tiba.... nyes!
Semua hilang. Saya tertinggal bersama sepi.
Kemudian saya sadar. Saya memang
hidup sendiri. Sejak lahirpun saya sudah diciptakan untuk menjadi seorang manusia. Bukan dua, atau tiga,
atau empat. Hanya satu. Boleh jadi saat ini saya memang sedang bersama dengan
orang-orang yang saya sayangi, tertawa dan berbagi cerita. Tapi pada akhirnya,
akan ada satu waktu ketika saya sendirian dan menyadari bahwa saya memang
diciptakan untuk menjadi angka satu. Sendiri saja. Lalu pikiran saya berjalan
ke depan. Ketika turun dari kendaraan ini, saya akan tiba di rumah dan bertemu
dengan kedua orang tua saya, pergi ke kamar, makan bersama, menonton tv
bersama, lalu pergi lagi ke kamar, duduk di atas ranjang dan memikirkan hal-hal
yang membuat saya begitu kosong.
Saya memandangi jalanan dengan
perasaan tak menentu. Tak tahu ingin melakukan apa dan apa yang harus dilakukan
ketika nanti tiba di rumah.
Tiba-tiba saya merindukan cuaca
yang buruk. Angin yang berembus garang, guntur tanpa kilat dan hujan yang
menetes kian ganas. Mungkin dengan begitu saya takkan merasa sendiri lagi.
(Dibuat pada suatu senja di bulan Desember, bersama pikiran yang masih belum bisa berpindah dari karya-karya Pak Murakami.)
Selasa, 03 Desember 2013
Kosong
Seminggu ini bisa dibilang aku terjebak dalam dunia yang diciptakan Haruki Murakami dalam salah satu novelnya, yaitu Kafka On The Shore. Setelah tamat membacanya tepat seminggu yang lalu, 'makhluk-makhluk' ciptaan Murakami tidak langsung lenyap dalam hidupku. Mereka masih berkumpul dan berputar-putar dalam pikiranku, menimbulkan efek-efek yang kadang tak kuinginkan.
Paragraf dalam latar biru yang kucantumkan di atas adalah salah satu monolog yang terjadi dalam diri Hoshino, salah satu tokoh pada Kafka On The Shore. Chunichi Dragons adalah grup baseball kesukaannya. Selama ini ia merasa bahwa Dragons adalah hidup dan matinya. Ketika Dragons menang, ia akan bahagia bukan kepalang, begitu juga sebaliknya. Tapi kemudian ia sampai pada titik di mana ia merasa kosong. Ia jadi bertanya-tanya. Apa manfaat yang ia dapat jika Dragons menang dalam pertandingan? Apa efek yang berarti untuk dirinya? Kenapa ia begitu mengagung-agungkan mereka?
Mau tak mau aku jadi ikut berpikir. Sebagai manusia biasa, aku juga memiliki orang-orang luar biasa yang siap untuk kapan saja kukagumi, kupandangi fotonya dan kunikmati suaranya. Aku senang bila mereka mendapat penghargaan. Aku juga ikut bahagia bila mereka bisa meraih apa yang mereka cita-citakan. Tapi apa imbasnya untukku? Apa aku juga akan hebat bila mereka hebat? Apa aku juga jadi bisa meraih yang kuimpikan? Apa mereka akan memberiku uang banyak? Apa mereka akan mengajakku tinggal di rumahnya bila aku terus mengidolakannya? Jika aku mencintai mereka dengan sepenuh hatiku, apa mereka juga akan berbalik mencintaiku? Tanpa dijawab pun, kurasa semua orang sudah tahu jawabannya.
Kosong. Mungkin itu yang kurasakan sekarang. Persis seperti yang dirasakan Hoshino.
Senin, 25 November 2013
The Scariest Thing
Just realized that a week later is already December. It means, two months to go to my birthday. I'll turn 21. Not a good number. I feel like forever 18, but reality ruins everything. I always ask myself. What have I done? I never published a book, I can't cook without recipe, I hate cockroach, I waste so much time and my English is not good.
That question leads me to fear. A big fear. And also to ton of another questions. Will I have a happy life? Will I have a good husband? How about my children? How about my career? Can I reach my dreams? When will I die?
Man, it's scary.
Anyway, yesterday I asked my sister to make a Totoro birthday cake for me, and it will look like this:
It's cute, isn't it? ;)
That question leads me to fear. A big fear. And also to ton of another questions. Will I have a happy life? Will I have a good husband? How about my children? How about my career? Can I reach my dreams? When will I die?
Man, it's scary.
Anyway, yesterday I asked my sister to make a Totoro birthday cake for me, and it will look like this:
It's cute, isn't it? ;)
Sabtu, 26 Oktober 2013
Diam-Diam
"Everything you do is so fresh and brand new that ICan't help
This crush on you I want to be the breaktrough
Kind of love to you
You are the star of my daydreams
Everything you are is my reverie
Can you feel my heart when you moving closer and closer?"
(Breanne Düren - Daydreams)
Aku suka kamu.
Aku suka melihat caramu berjalan. Aku suka melihat
caramu mengenakan tas. Aku bahkan suka melihatmu yang tidak sedang melakukan
apa-apa.
Kadang-kadang aku membayangkan kamu datang ke
tempatku dan mengajakku pergi. Tak perlu ke taman penuh bunga, tak usah juga
kamu bawa aku ke istana megah. Sebuah bangku panjang dan candaan ringanmu sebenarnya
sudah cukup untuk membuatku gembira.
Kamu tahu? Sebenarnya kamu selalu muncul dikala aku
tidur.
Aku selalu bermimpi tentang kita yang sedang menari.
Iya, hanya menari. Dan paginya aku akan terbangun
dengan pipi yang lelah karena terlalu lama menahan senyum.
Tapi sayang, kamu tak pernah tahu.
Dan aku memang tidak ingin kamu tahu.
Langganan:
Postingan (Atom)