Sore ini begitu cerah untuk ukuran cuaca di bulan Desember. Matahari bersinar terlalu terang, angin bertiup lembut dan udara terasa lebih segar. Jika ingatan saya pendek, pasti saya sudah lupa kalau tadi siang hujan baru saja turun begitu derasnya.
Seperti biasa, setiap Sabtu
jadwal perkuliahan baru selesai pukul setengah lima sore. Kadang kurang dan
kadang lebih. Saya pulang bersama seorang teman, dengan menumpang sebuah
angkutan umum bercat hijau.
Sepanjang jalan kami melakukan
hal-hal yang biasa. Kami tertawa-tawa ketika membahas ulang segala yang telah
terjadi seharian ini dan diam ketika tawa kami habis, memandang jalanan dan
sibuk dengan pikiran masing-masing. Kebetulan, saya sedang menahan geli ketika
ia lebih dulu turun di tempat yang biasanya. Senyum saya bertahan selama
beberapa detik sebelum kemudian sirna ketika menyadari sesuatu yang tak biasa.
Saya memandang orang-orang yang
ada di sekeliling saya. Seorang wanita berturban yang sedang memeluk kantung
plastik bertuliskan nama sebuah merek makanan duduk dengan santai di pojokan.
Di sebelahnya ada seorang lelaki ceking dan pria paruh baya dengan ransel besar
berwarna hitam. Di samping saya duduk seorang pemuda. Tepat di belakang
sopir, seorang gadis berkuncir kuda
sedang sibuk dengan buku bacaannya.
Tiba-tiba saya merasa takut. Ada
perasaan kosong yang muncul begitu saja, hinggap di pikiran dan mendekap batin
saya dengan sangat erat. Saya tidak kenal
orang-orang ini. Begitu kira-kira yang pertama kali saya bisikkan dalam
hati. Tentu saja. Saya sedang berada dalam angkutan umum yang boleh ditumpangi
siapapun. Anak sekolah, mahasiswa, pekerja, pedagang, pengemis, tukang obat,
ibu rumah tangga, pengangguran, pencuri, pengacara, politisi, bahkan presiden
sekalipun tak dilarang untuk menaiki kendaraan ini. Tak peduli saling kenal
atau tidak, setiap orang bisa berada dalam satu angkutan yang sama.
Saya merasa sendirian ketika
sadar bahwa saya memang sedang dikelilingi oleh orang-orang asing. Hal itu
tidak berselang lama ketika teman saya pergi. Sesuatu yang aneh merayap-rayap dalam
benak saya. Rasanya baru saja saya sedang tertawa-tawa dan menikmati apa yang
dinamakan kebersamaan. Lalu tiba-tiba.... nyes!
Semua hilang. Saya tertinggal bersama sepi.
Kemudian saya sadar. Saya memang
hidup sendiri. Sejak lahirpun saya sudah diciptakan untuk menjadi seorang manusia. Bukan dua, atau tiga,
atau empat. Hanya satu. Boleh jadi saat ini saya memang sedang bersama dengan
orang-orang yang saya sayangi, tertawa dan berbagi cerita. Tapi pada akhirnya,
akan ada satu waktu ketika saya sendirian dan menyadari bahwa saya memang
diciptakan untuk menjadi angka satu. Sendiri saja. Lalu pikiran saya berjalan
ke depan. Ketika turun dari kendaraan ini, saya akan tiba di rumah dan bertemu
dengan kedua orang tua saya, pergi ke kamar, makan bersama, menonton tv
bersama, lalu pergi lagi ke kamar, duduk di atas ranjang dan memikirkan hal-hal
yang membuat saya begitu kosong.
Saya memandangi jalanan dengan
perasaan tak menentu. Tak tahu ingin melakukan apa dan apa yang harus dilakukan
ketika nanti tiba di rumah.
Tiba-tiba saya merindukan cuaca
yang buruk. Angin yang berembus garang, guntur tanpa kilat dan hujan yang
menetes kian ganas. Mungkin dengan begitu saya takkan merasa sendiri lagi.
(Dibuat pada suatu senja di bulan Desember, bersama pikiran yang masih belum bisa berpindah dari karya-karya Pak Murakami.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar