Dulu, aku ingin kita seperti ini. Bertemu. Dengan aku yang
mengenakan gaun abu, dan kamu yang memakai jas biru.
Gaun ini terasa sangat mewah untuk dikenakan di balkon apartemenmu.
Terlalu mewah, maksudku. Kita tidak sedang menghadiri pesta yang berisi
sosialita. Lantas mengapa kau undang aku dengan kode busana seperti ini?
Kamu tersenyum tanpa
menoleh. Matamu lurus menghadap ke depan. Tak ada yang bisa kamu tatap selain
gedung-gedung pencakar langit dengan semarak lampunya. Membuat kota ini
terlihat sangat indah.
Sejak masih sekolah, berada dan tinggal di tempat semacam
ini adalah impianku. Aku suka melihat pemandangan kendaraan dan lampu kota dari
atas. Membuatku merasa tinggi. Merasa kalau semua hal yang ada di dunia ini
adalah kecil, kecuali aku seorang.
Dan sekarang aku berada di sini. Di lantai 18 kamar
apartemenmu.
Aku ingin hari ini kita terlihat spesial, jawabmu nyaris
tanpa suara.
Keningku kontan berkerut saat mendengar ucapanmu. Aku
menoleh, memperhatikan wajah yang beberapa belas sentimeter lebih tinggi dari
kepalaku itu.
Terlihat oleh siapa? Siapa yang akan melihat kita sedangkan
hanya ada kita berdua di sini.
Oleh kamu dan aku di masa depan. Jangan biarkan mereka menyesal karena pertemuan pertama kita yang tidak istimewa.
Aku menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya sambil
tertawa.
Kamu tahu, apa yang lebih spesial dari pakaian kita malam
ini? Tanyaku setelah tawa itu reda.
Kepalamu menggeleng dua kali.
Itu adalah kamu. Raga, jiwa dan hatimu jauh lebih spesial
dari apa yang kamu ciptakan sekarang.
Kamu diam, lalu tertawa.
Aku juga.
3 November 2016 (22:00)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar