Kamis, 12 November 2015

Teruntuk yang Akan Membawaku



Bawa aku kembali ke tempatmu,
di mana aku dapat merasakan tiap tetes anugerah dari langit tanpa cemas,
di mana aku dapat lepas melayangkan tawa,
di mana aku dapat melupakan ragu,
yang nyatanya kian hari kian mengembang.

Bawa aku,
padamu.

Sarang Laba-Laba

Suatu hari, seorang perempuan tak bernama menghampiri lelaki yang duduk di seberangnya. Mereka tak saling kenal. Tak pernah sekalipun mereka bertukar nama atau bahkan sekedar bertatap muka.
Perempuan itu menyodorkan secarik kertas, lalu pergi begitu saja. Sang lelaki hanya menerima apa yang ada di hadapannya tanpa sedikitpun mengeluarkan tanya, "Siapa kamu?" atau "Apa ini? atau "Apa maksudnya?"

Sepeninggal perempuan itu, sang lelaki membuka kertas yang tadinya terlipat rapi. Pelan-pelan ia baca isinya,
"Jutaan tahun aku duduk di hadapanmu, menanti perhatianmu. Lalu kapan kamu akan memalingkan wajahmu padaku?"
Sang lelaki terhenyak.  Memang sudah berapa lama ia duduk di sini?

Dunia di sekelilingnya pun berubah menjadi sarang laba-laba.

Sabtu, 01 Agustus 2015

"Kadang-kadang, saya ingin memiliki kemampuan menggenggam sepi, agar saya bisa lebih mudah dalam memilih dan memutuskan. Selama ini apalagi yang saya takutkan selain kehilangan dan kekosongan yang tak nyata? Nyaris tidak ada. Seandainya saya bisa erat menggenggamnya, memasukannya ke dalam toples kosong dan menutup toples itu tanpa menyisakan sedikitpun udara, mungkin saya bisa lebih lepas, dan mensyukuri apa yang sedang saya miliki."

Sabtu, 04 April 2015

Kehilangan

"Kehilangan" adalah kata yang membuat saya takut seharian ini. Padahal, untuk apa takut jika semua yang ada di sekeliling saya bukanlah murni milik saya sendiri? Orang bilang, semua yang ada di sekitar kita hanya titipan. Kapanpun Sang Pemilik ingin mengambil, kita tak punya hak untuk menahan.

Ah, ya. Saya selalu tahu itu.

Tapi, bagaimana jika yang mengambil bukanlah Sang Pemilik, melainkan tangan-tangan lain? Apa saya masih harus merasa tidak perlu takut?

Bayangan akan "kehilangan" terus bersarang dalam otak saya. Meski saya tahu yang sedang saya miliki baru-baru ini adalah suatu kesalahan, tapi ada suatu rasa yang membuat saya ingin tetap bertahan, yang saya pun tak pernah bisa mendefinisikan rasa macam apakah itu.

Kehilangan.

Bagaimana jika harus benar-benar merasa kehilangan? Bagaimana jika yang saya cintai harus hilang?
Tak ada yang bisa saya jawab, selain mengulang pertanyaan yang sama pada diri saya di masa depan.

Rabu, 19 November 2014

Kapan-Kapan

Kapan-kapan, aku ingin kita berdua hanya dipisahkan oleh sebuah meja bundar kecil. Ada secangkir cokelat panas untukku dan segelas lemon tea untukmu. Aku ingin kita membicarakan apa-apa yang selama ini tertahan. Tentang kesukaan kita. Tentang hidupmu. Tentang harapan-harapanku. Tentang apa saja. Selama kamu suka.

Aku berjanji tak akan jadi penat bagimu. Hari itu, aku akan merelakan diri menjadi seorang extrovert. Selama hanya ada kamu di hadapanku. Selama yang ada hanya dirimu.

Kapan-kapan, kapan-kapan, kapan-kapan......aku harap tak sekedar jadi angan-angan.

Malam itu, di pinggiran kota Bogor. Ada duka saat gerimis membasuh. Ada wajah-wajah sendu saat angin bertiup. Pasi, mereka menghampiri yang tengah berbaring. Mengeluarkan apa yang harusnya dilantunkan. Ada kecupan penuh luka. Ada maaf menggema. Ada kenangan syahdu, yang mengingatkan pada apa-apa yang pernah terlaku.

Di sudut lain, ada lelaki penuh uban sedang mematung. Lemas ia terduduk. Matanya memerah. Ada sesal terlintas. Ada ingatan panjang tentang mereka. Sebelas tahun berlalu begitu saja. Tanpa terasa. Satu-satunya yang akan selalu menepi adalah sepi. Sepi yang meninggalkan lara. Rindu yang akan selalu hinggap di kalbu.



Tulisan ini dibuat untuk mengenang Alm. Bapak Madi. Sahabat Abah, yang baru meninggal kemarin malam.

Rabu, 27 Agustus 2014

Untuk Bandung yang Dulu Pernah Kukenal

Aku dan kamu sempat kembali menjadi ‘kita’. Tak lama, hanya beberapa jam saja. Jika aku tak salah ingat, mungkin dua jam setelah kamu membalas pesanku yang pertama. Setelah itu kita menjadi ‘kita’, ‘kita’ yang hampir seperti dulu, jauh sebelum kamu menguap dari hidupku.


Dirimu masih sama dengan yang dulu kukenal. Kata-katamu masih singkat. Nada bicaramu masih ramah. Tawa renyah untuk menghilangkan kesan menyebalkan masih terselip di setiap ujung kalimat. Tak lupa, pertanyaan balasan akan muncul tiap kali kamu kebingungan. Satu-satunya yang tak sama adalah hal-hal manis yang dulu biasa menyempurnakan ‘kita’, karena itu memang sudah tak diperlukan lagi.

Tak apa bukan, bila sesekali kuhampiri dirimu? Tak perlu kau pikir bahwa aku sedang ingin merenda angan. Tak usah juga kau kira bahwa aku sedang ingin membangun memori. Aku hanya suka tenggelam dalam kebosanan yang seringkali kamu ciptakan. Aku candu pada hal yang membuatku sebal. Selama itu darimu, aku tak akan mempermasalahkan. Asalkan itu kamu. Selama itu kamu.


Jadi, kapan aku boleh kembali bertandang di istanamu yang gersang dan layu namun tak pernah membuatku lelah dan mati rasa itu?