Aku percaya kalau setiap manusia punya titik jenuh. Entah
itu pada pasangannya, hobinya atau kehidupannya sekalipun. Rasa yang tidak bisa
dihindari namun akan selalu menghampiri. Saat sesuatu menjadi rutinitas, lambat
laun manusia akan merasa bahwa apa yang dilakukannya adalah sebuah monokrom.
Sepi. Hanya ada hitam dan putih.
Sama halnya dengan yang kupikir sedang kamu rasakan padaku.
Mungkin kamu tengah jemu pada setiap pesanku yang rutin
mampir di notifikasi telepon pintarmu tiap Jum’at petang. Mungkin kamu lelah
dengan namaku yang selalu muncul di sana. Mungkin kamu bosan dengan cerita-cerita
yang sudah sering sekali mengalir dari mulutku.
Tak apa, aku paham. Yang kamu rasakan sangatlah manusiawi.
Kamu manusia, bukan?
Satu hal lain yang aku yakini adalah, bahwa setiap titik
jenuh memiliki titik jenuhnya sendiri. Kelak kamu akan kembali saat rasamu
telah mencapai puncak. Selama itu aku akan diam dan menanti. Tak akan kuganggu
dirimu dengan hal-hal yang tak perlu.
Satu bulan
Dua bulan
Tiga bulan
Kamu mulai asyik dengan dunia baru yang tanpa ada aku.
Kupikir aku harus menunggu sampai enam bulan dan menyambut kembalinya dirimu.
Delapan bulan
Sembilan bulan
Sepuluh bulan
Aku mulai bermain dengan harapan, dan kamu masih sibuk
dengan dirimu. Pelan-pelan kusingkirkan sesuatu yang pernah kuyakini, bahwa
kamu akan kembali.
Meski begitu anganku akan tetap terjaga, agar sewaktu-waktu
saat kamu pulang, aku bisa meraih dan meletakannya tepat di hatimu.