Aku menjejakkan kaki di sekotak tanah berpendar
keemasan. Tanpa sadar kuhela napas. Ternyata aku sudah sampai di sini. Di titik nol. Di mana
seharusnya aku berada. Aku menoleh pada arah sebaliknya, mencoba menemui
pijakan yang sebelumnya menjadi media dari ringkihnya keberadaanku. Yang
kulihat tak lebih dari gelap dan sunyi yang meraja. Aku kembali menengok ke
depan sambil bergidik ngeri. Di hadapanku hanya ada embun pekat keabuan,
membuat samar siapapun yang memandangnya. Kuat-kuat kupejamkan mata,
pelan-pelan kulangkahkan kaki menuju kotak berikutnya. Semakin sering langkah kupijak,
semakin silau pandang yang kupejam. Takut-takut kubuka mata. Bibirku bergetar,
hatiku meleleh. Aku bersinar. Aku bercahaya. Seluruh tanah ini menjadi
keemasan karena langkahku!
Aku terus berlari menyusuri jalan yang seharusnya
kutuju. Lurus terus, tanpa menoleh, tanpa berbelok. Dari jauh kulihat bayangan
samar. Lama-lama bayang itu kian jelas. Ia meninggi, meramping, dan membentuk
wujud seorang manusia. Kulihat ia mengulurkan tangan. Langkahku terhenti seiring
dengan genggamannya.
“Kamu sudah pulang,” katanya. “Selamat datang
kembali.”
Ia tersenyum. Memeluk hangat hatiku.
15/9/2016 (1:04)