Rabu, 19 November 2014

Kapan-Kapan

Kapan-kapan, aku ingin kita berdua hanya dipisahkan oleh sebuah meja bundar kecil. Ada secangkir cokelat panas untukku dan segelas lemon tea untukmu. Aku ingin kita membicarakan apa-apa yang selama ini tertahan. Tentang kesukaan kita. Tentang hidupmu. Tentang harapan-harapanku. Tentang apa saja. Selama kamu suka.

Aku berjanji tak akan jadi penat bagimu. Hari itu, aku akan merelakan diri menjadi seorang extrovert. Selama hanya ada kamu di hadapanku. Selama yang ada hanya dirimu.

Kapan-kapan, kapan-kapan, kapan-kapan......aku harap tak sekedar jadi angan-angan.

Malam itu, di pinggiran kota Bogor. Ada duka saat gerimis membasuh. Ada wajah-wajah sendu saat angin bertiup. Pasi, mereka menghampiri yang tengah berbaring. Mengeluarkan apa yang harusnya dilantunkan. Ada kecupan penuh luka. Ada maaf menggema. Ada kenangan syahdu, yang mengingatkan pada apa-apa yang pernah terlaku.

Di sudut lain, ada lelaki penuh uban sedang mematung. Lemas ia terduduk. Matanya memerah. Ada sesal terlintas. Ada ingatan panjang tentang mereka. Sebelas tahun berlalu begitu saja. Tanpa terasa. Satu-satunya yang akan selalu menepi adalah sepi. Sepi yang meninggalkan lara. Rindu yang akan selalu hinggap di kalbu.



Tulisan ini dibuat untuk mengenang Alm. Bapak Madi. Sahabat Abah, yang baru meninggal kemarin malam.