Selasa, 15 Juli 2014

A Confession

Semasa saya SD, di RCTI ada sebuah program yang bernama 'Katakan Cinta'. Program tersebut memfasilitasi manusia-manusia single yang ingin segera mengubah status. Dari single jadi double. Dari sendirian jadi berpasangan. Saya menonton sambil ngumpet-ngumpet. Takut ketahuan Mama dan dibilang kegenitan.

Sekian tahun berlalu. Acara tersebut sudah tak lagi tayang, tapi kelakuan para peserta 'Katakan Cinta' yang menurut saya unik dan tidak biasa masih sering membuat saya tertawa-tawa sendiri dan berpikir, itu kali ya, perwujudan dari frase "cinta harus diperjuangkan". Malu bukan hambatan. Yang penting dapet! Bagi saya itu konyol. Makanya saya tertawa.

Tapi, sekonyol apapun pepatah tadi, tetap saja tidak membuat saya menjadi seseorang yang selalu memendam rasa cintanya. Ada kalanya saya ikut menjadi konyol, membuang rasa malu dan menyatakan apa yang ingin saya nyatakan.

Tanggal 11 Desember 2013. Untuk yang kedua kalinya saya melakukan-hal-yang-apabila-tidak-saya-lakukan-mungkin-akan-berbuah-penyesalan. Entah arwah apa yang merasuk sampai akhirnya saya berani untuk mengirim sebuah email pada seseorang yang sudah 2 tahun begitu saya inginkan.

Ada tiga hal yang membuat saya begitu yakin dan percaya diri:
1. Saya mengirim lewat email anonim.
2. Kami sudah tak pernah bertemu selama 2 tahun, dan mungkin tak akan pernah bertemu lagi.
3. Ia tak mungkin ingat pada saya.

Dalam email itu saya menulis apa yang ingin saya luapkan. Semuanya mengalir begitu saja, sampai tahu-tahu sudah ada 4 halaman yang saya habiskan.

Tanpa diduga, esoknya handphone saya bergetar. Ada email. EMAIL BALASAN DARI DIA!
Dengan jantung yang berdetak tak biasa, saya membacanya dari awal sampai akhir. Berulang-ulang. Sampai bosan. Sampai tak perlu dibaca lagi.

Tidak ada balasan perasaan. Tidak ada kata, "Hai, boleh saya ketemu kamu?". Bahkan tak ada pertanyaan semacam, "Sebenarnya kamu siapa?". Karena saya pun memang tak pernah mengharap balasan apapun. Saya juga memohon agar ia tak perlu mencari tahu siapa saya. Jawaban email darinya sudah cukup membuat saya menjadi gadis paling bahagia di dunia ini.

Ia menjawab dengan kalimat-kalimat yang tidak saya pahami. Ia meminta saya untuk tidak berharap terlalu banyak. Ia mendoakan saya agar apa yang saya cita-citakan tercapai. Tipikal lelaki dewasa. Harusnya itu membuat saya semakin penasaran. Tapi entah kenapa.....wusss....perasaan itu hilang seiring dengan balasan emailnya. Tak ada lagi sensasi indah tiap kali mengingatnya, tak ada getaran-getaran yang membuat saya semangat tiap kali membaca judul skripsinya. Semuanya hilang begitu saja. Padahal tak ada hal yang membuat saya kecewa, sedih atau patah hati dari apa yang ia katakan. Semuanya hanya hilang.

Aneh? Memang.

Saya jadi ingat pada kutipan yang ada di dalam novel 1Q84 karya Haruki Murakami (kalimat ini juga saya masukkan ke dalam email yang saya tulis).


“If you can love someone with your whole heart – even if he’s a terrible person and even if he doesn’t love you back – life is not a hell, at least, though it might be kind of dark.”

Sekarang saya rindu untuk jatuh cinta.



Currently listening to: Someday by John Legend

Senin, 14 Juli 2014

Reuni

Saya bukanlah orang yang mudah berdamai dengan masa lalu. Itu yang sering saya katakan. Saya sulit sekali untuk lupa begitu saja pada setiap kenangan yang pernah saya maupun orang lain buat terhadap saya. Akan ada masa di mana otak saya berputar, dan kembali pada bayang-bayang 5, 10 atau 15 tahun yang lalu, yang kini tentu saja sudah berada di dimensi  lain.

Ketika hal itu terjadi, saya akan lebih memilih untuk diam, mengurung diri di kamar sambil mendengar lagu-lagu yang dapat menguatkan kenangan. Sebenarnya bukan ide yang bagus, karena setiap nada dari masa lalu akan membuat saya semakin lemah dan lelah.

Saya lelah untuk berada di tempat yang seharusnya tak saya ingat-ingat lagi. Capek. Letih. Tapi bayangan itu muncul semaunya, memaksa untuk masuk ke dalam pikiran saya, merenggut kedamaian hati saya.

Mungkin itu salah satu alasan mengapa saya sering sekali menolak acara reuni. Temu kangen. Gathering. Meetup. Atau apalah namanya.
Saya selalu rindu pada masa lalu. Terlebih pada masa lalu yang indah. Kenangan bersama teman-teman sekolah adalah masa-masa yang indah untuk saya. Mereka adalah saksi dari perubahan-perubahan yang terjadi pada diri saya. Mereka selalu ada pada setiap masalah saya, pada setiap kegembiraan saya. Mereka tidak dapat dideskripsikan. Bayangan bersama mereka adalah bayangan yang terlampau indah. Karena itulah kadang saya lebih memilih untuk menghindar.

Sepi. Hanya itu kata yang bisa menginterpretasikan perasaan saya selama bersama mereka. Saya memang sedang bersama belasan orang. Saya berada dalam gelak tawa penuh rindu, terkurung dalam candaan masa lalu yang tak habis untuk diingat. Tapi jauh di dalam hati saya, saya hanya bisa merasakan sepi. Saya malah memikirkan hari esok yang sebenarnya belum penting untuk dibahas.

Saya tak ingin mereka habis malam ini. Saya ingin besok berangkat ke sekolah, duduk di bangku kayu barisan kedua dari belakang, bergosip sambil cekakak-cekikik sebelum guru matematika masuk kelas dan SMSan sambil pura-pura memperhatikan pelajaran. 

Tapi saya tahu, itu semua mustahil.

Pulangnya, saya tak akan bisa langsung terlelap. Jantung saya berdetak tak biasa. Menyesali kedatangan saya ke acara yang tak seharusnya saya hadiri.
Tapi mungkin seharusnya saya lebih menyesali diri saya sendiri. Yang tak pernah siap untuk tidak merasa sepi.